Each of us is a matching half of a human being, because we’ve been cut in half like flatfish, making two out of one, and each of us is looking for his own matching half. (Plato, The Symposium, 1999, New York, Penguin Books, Hal.24)
Salah satu bentuk adiluhungnya kesusasteraan jawa, adalah dengan meng-kerata basa-kan, atau mengartikan kata garwa dengan pengartian yang pas. Lalu apa pentingnya membicarakan istilah 'garwa' atau sigaraning nyawa, alias belahan jiwa, atau istilah anak sekarang soul mate?
Pernah nonton Jerry Mcguaire? Cinta, membuat Jerry (Tom Cruise) menikahi Dorothy (Renee Zelweger). Tapi ternyata cinta saja, memaksa mereka untuk memeriksa komitmen pernikahan mereka, dan bahkan nyaris menelorkan sikap untuk berpisah. Ujung ceritanya memang bahagia, tatkala Jerry sadar, bahwa yang lebih penting dalam menikah adalah kerelaan untuk berbagi, sebagai sebuah kebutuhan (bukan praktek keterpaksaan sebagai konsekuensi dari sebuah komitmen). Sampai disini, mungkin sudah menjadi penerang, kala kita melihat sepasang suami istri yang memiliki sifat yang bertolak belakang, namun bisa sedemikian harmonis dan lengket tak terpisahkan, berbilang tahun lamanya. Bahkan ketika kita menyadari, bahwa mereka merupakan pasangan produk Siti Nurbaya, ternyata status pernikahan mereka lebih awet dibanding para penghibur negeri ini yang mudah bosan dengan status kesuami-istrian mereka.
Adakah yang tidak berharap, untuk menikah dengan 'si garwa' ini? Atau dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti, menikah dengan jodoh kita. Siapa yang tidak ingin? Plato dalam “The Symposium” memaparkan bahwa manusia pada mulanya berpostur bulat, bertangan empat, berkaki empat, berwajah dua dan memiliki tiga alat kelamin. Ketika dewa membutuhkan manusia tersebut untuk menyembah mereka, maka Zeus sebagai dewa tertinggi, pun membelah manusia menjadi dua bagian. Sontak, manusia pun terpisah menjadi pria dan wanita. Semenjak itu, manusia menyembah Dewa, namun dampak pemisahan tersebut, manusia memendam hasrat untuk selalu berusaha bersatu kembali dengan ‘belahan’ dirinya. Apakah Plato pernah mendengar konsepsi garwa dan mengejawantahkannya lewat asal muasal manusia tersebut? Saya tidak tahu. Yang jelas, untuk bertemu sigaraning nyawa, sepertinya merupakan obsesi tak terbantahkan dari setiap manusia, tentunya yang masih waras.
Sejatinya, garwa tidak menunjuk sebuah kelamin, lelaki maupun perempuan. Namun dalam prakteknya, istilah ini lebih ditujukan kepada kaum hawa. Saya tidak tahu pasti, apakah ini merupakan bentuk patrilineal Jawa, yang menempatkan gender pria, lebih diatas wanita. Wejangan Jawa bilang: 'istri iku suwarga nunut, neraka katut,'? Istri itu jika suami masuk surga akan ikut, begitu pula juga bila suami masuk neraka. Atau ada juga bilang 'kanca wingking' atau 'teman belakang'.
Sampai pada paragraph ini, saya memiliki satu hipotesis, jikakalau bertemu dengan garwa itu sebuah pemenuhan kebutuhan terhadap jatidiri, maka siapapan yang mendambanya tidak memerlukan kadar cinta yang terlalu tinggi. Dan itulah mengapa yang diperlukan justru kerelaan untuk berbagi, sebagai bagian dari proses metabolisme yang alami. Siapa yang tahu, ternyata ada beberapa manusia yang saking nakalnya pada masa lalu, mendapatkan bonus pemisahan yang lebih ekstrim dari para dewa, sehingga tercerai berai entah menjadi beberapa bagian. (Boleh jadi ini yang menjadi sandaran untuk melakukan poligami).
Terlalu banyak berimajinasi dan berandai-andai, buat kita manusia, sepertinya tak akan lebih menjadi sebuah kekurangajaran kepada Sang pencipta, karena apapun yang manusia perbuat, toh jodoh itu urusan Gusti Allah SWT. Rick price-pun tak salah, dengan tembangnya, karena itu menghibur kita, buat menanti kapan giliran kita bertemu garwa kita, tentunya dengan dibarengi ikhtiar dan usaha..
Ps: “The Symposium” ditulis Plato untuk menjelaskan pemikirannya tentang “cinta” yang dikemas Plato dalam bentuk dialog pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh elite Yunani ketika pesta minum saat jamuan makan malam, yang dikenal dengan istilah Symposium. Lima tokoh ditetapkan Plato sebagai pembicaranya, yakni Phaedrus, Pausanias, Eryximachus, Aristhophanes dan Agathon. Socrates juga ikut dihadirkan, sebagai penilai dari keseluruhan konsepsi cinta yang telah dipaparkan kelima tokohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar