Jumat, September 04, 2009

Lebaran 28 hari lagi

Ramadhan setahun yang lampau, ada status di YM dari rekan kerja di kantor, dengan tema seperti judul tulisan ini, padahal puasa baru menginjak hari kedua. Sepintas memang lucu, tapi kalau saya renungkan, apakah penulisnya punya anggapan, bahwa yang paling penting selama ramadhan adalah Lebarannya. Luar biasa, kalau itu yang ada dalam pikirannya. Sementara sudah menjadi pengetahuan khalayak, bilamana saat lebaran, hanya terasa greget “hingar bingarnya” di Indonesia. Sementara di negara muslim yang lain, justru Iedul Adha lah yang menjadi moment kesyukuran.

Yah, tapi itulah kebebasan berpendapat. Setiap orang berhak punya pandangan yang berbeda atau bahkan cuma membebek belaka. Toh, pada kenyataanya, justru keriaan menuju lebaran lah yang menjadi pusat perhatian kita semua, utamanya yang di Indonesia. Lihat saja, budaya mudik, yang menghasilkan antrean pemesanan tiket mudik dari segala mode transportasi yang ada. Kemudian semua stasiun Televisi, menyajikan program2 hiburan sahur-berbuka, (lengkap dengan banyolan2 yang kadang keterlaluan juga) sampai ketika kita mendengar H-7, semua stasiun televisi menjadi penjaga pintu tol, yang paling tahu stasiun Kereta api, dan paling mengerti kepadatan penumpang di Bandara maupun di pelabuhan penyeberangan manapun. Luar Biasa, sedemikian hingar bingarnya masyarakat muslim Indonesia dalam menikmati Lebaran.
Kalau saya pribadi, tetap masih prihatin. Karena bukan pada esensi bulan ramadhan, kehingaran itu tergelar. Bahwasanya ini adalah bulan tirakat, bulan ibadah dan bulan ampunan. Tapi kita justru menyaksikan, betapa harga-harga sembako bisa meroket karena alasan menyambut lebaran. Betul-betul semua kondisi tercipta untuk mengantisipasi lebaran.

Lalu harus bagaimana kita menyikapinya ya? Saya serahkan kepada kebijakan anda. Apakah anda mau mengikuti atau melawan arus, dan harus siap menjadi orang aneh, atau satu lagi, menjadi opportunis sajalah, melihat mana yang menguntungkan
Ramadhan memang sudah separuh kita lalui. Kalaulah saya punya kuasa, inginnya bulan ramadahan menjadi bulan kesederhanaan saja. Tidak ada kenaikan harga, tidak ada banyolan sahur. Soalnya tidak sedikit, berniat bangun sahur, justru untuk melihat tayangan di layar kaca, dan bukan untuk meniatkan diri menjalankan syarat puasa, makan sahur. Alangkah indahnya, jika semuanya benar-benar menunduk, tafakkur, dan khusyuk dalam beribadah. Tapi saya juga sangat sadar, bahwa eforia Ramadhan, memang tidak bisa lepas dari cengkeraman kapitalis memang tidak akan pernah mati, dalam mengusung fahamnya. Bahkan moment ibadah pun bakal dikemas menjadi dagangan kapitalis,dan Otak kapitalis akan bicara, Lebaran kurang 28 hari, saat seharusnya bahasa religius memaparkannya sebagai Ramadhan masih 28 hari, dan baru kita lalui 2 hari saja.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20070919011330AAwPKNW
http://humaskabbekasi.wordpress.com/sejarah-singkat-bekasi/
http://aawahyu.com/sejarah-bekasi/
http://bekasiheritage.multiply.com/journal